Paling tidak, memasuki dunia pesantren harus memiliki niat dan
kesiapan untuk mengenal berbagai hal yang berkaitan dengan barokah.
Hanya di sebuah kelembagaan pesantren inilah istilah unik tersebut dapat
ditemukan. Sebuah nilai tambah kebaikan dan keutamaan yang dipercaya
tumbuh sebagai manfaat dari berjuta pengorbanan Kyai maupun kelembagaan
pesantren itu sendiri. Untuk selanjutnya, nilai tambah kebaikan tersebut
dapat diusahakan untuk terraih siapa saja –santri-, dengan ketulusan
dan pengabdian terhadap kyai dan pesantren, yang telah secara bulat
mengabdikan seumur hidupnya untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa,
agama, dan negara.
Selain tentang nilai tambah dan keutamaan
tersebut, ada beberapa hal yang turut mewarnai kebertahanan lembaga
kepesantrenan di Indonesia, terutama pesantren-pesantren yang bernaung
di bawah kekuatan jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Pesantren hadir dengan
pola-pola tersendiri sesuai dengan kebutuhan waktu di mana dia hadir dan
mengabdi. Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang misalnya, pesantren
mampu mewujud sebagai benteng perlawanan bangsa terhadap kolonial.
Pesantren merupakan kekuatan dan lambang penolakan terhadap segala
bentuk penjajahan dan penindasan. Beberapa catatan sejarah perjuangan
bangsa Indonesia menunjukkan bahwa perlawanan rakyat terhadap penjajah
yang sangat terrekam heroik itu kerap terinisiasi oleh kekuatan
komunikasi jaringan pesantren.
Di Zaman awal republik, pesantren hadir sebagai suatu kesatuan yang
terus mengawal kemerdekaan dari gangguan-gangguan yang masih tersisa,
maupun ketidak-stabilan internal bangsa dengan diwarnai
pemberontakan-pemberontakan di daerah. Di periode Orde Baru, pada
mulanya pesantren masih tetap dalam prinsip yang sama, yakni tetap
mengawal kemerdekaan dan merancang pembangunan bangsa bersama
pemerintah. Namun dalam perjalanannya, akibat beberapa temuan yang
kurang berpihak kepada rakyat, pesantren mengambil posisi sebagai
lembaga kontrol pemerintah dan negara untuk kembali memiliki
keberpihakan kepada rakyat. Meskipun di beberapa catatan, akibat posisi
tersebut pesantren justru mengalami pendiskriminasian karena dianggap
mengganggu dan berseberangan dengan hasrat pemerintah pada masa itu. Dan di era reformasi hingga sekarang ini,
selain tetap sebagai kontrol negara yang mesti dipertimbangkan,
pesantren juga memiliki PR lain yang tidak kalah mendesaknya, meski
tentu hal tersebut tetap menyangkut dengan nasib dan masa depan keutuhan
bangsa, yakni dampak globalisasi dan geliat-geliat intoleransi yang
mulai tumbuh di mana-mana. Terutama tentang maraknya tindak kekerasan
yang mengatas-namakan agama. Untuk era ini, pesantren mampu menerapkan
satu jurusnya kembali untuk tetap berdiri tegak memperjuangkan
kepentingan rakyat dan keutuhan bangsa, yakni melalui sebuah tradisi dan
kekhasan pesantren melalui seri dakwah dan dialog keagamaannya yang
ramah dan mempertimbangkan keberagaman dalam tubuh Indonesia.
Dialog Pesantren: Dakwah di Negeri Multikultural
Di
sudut persoalan globalisasi, dakwah dihadapkan pada persoalan tentang
bagaimana caranya menyampaikan pesan-pesan Islam dalam konteks
masyarakat global yang ditandai dengan makin sempitnya sekat-sekat antar
kultur dan sekat masyarakat etno-religius. Jika dulu dakwah masih
sangat memungkinkan untuk bersikap apriori terhadap luar dunia muslim
misalnya, maka saat ini di mana istilah dunia muslim menjadi kelihatan
kabur batas-batasnya oleh fenomena globalisasi, maka jalur dakwah tentu
tidak dapat berdiri sendiri tanpa menjalin interaksi yang lebih intens
dan persuasif dengan banyak komunitas etnis dan etno-religius di seluruh
dunia, terlebih di dalam kehidupan bangsa itu sendiri. Di Indonesia
yang beragam dan sangat perlu pertimbangan mengenai gambaran di atas,
sejak munculnya, pesantren tidak memiliki banyak masalah dengan hal-hal
tersebut. Sebab, pesantren memiliki catatan panjang sejarah yang hangat
dan romantis dengan keragaman budaya dan etnik di tengah masyarakat.
Konteks keIslam-an yang ditawarkan oleh dunia pesantren adalah pemahaman
agama yang merespon baik kekayaan budaya dan tradisi lokal. Bahkan,
mengadopsinya sebagai kekuatan ritual keagamaan yang sangat bersahabat
dengan jati diri bangsa. Tahlil, syukuran-syukuran dalam event-event
sakral keluarga seperti Nujuh Bulanan, atau yang lainnya.
Memahami alur dakwah yang seperti ini, maka
dirasakan sangat perlu jika pesantren kembali mempertimbangkan
konsep-konsep dasar dakwahnya tersebut sebagai solusi untuk tetap
menjaga kelanggengan agama dalam era globalisasi. Dari sana kita dapat
memahami ternyata seri dakwah pesantren memiliki karakter tersendiri
dengan beberapa sub. Pertama, dakwah pesantren menghargai keunikan dan keragaman etno-religio. Kedua, mengakui adanya beberapa titik kesamaan dalam keragaman etno-religio, meskipun tentu tidak secara keseluruhan. Ketiga,
paradigma keberagaman sebagai fenomena kultur. Keempat, sebuah
keharusan dalam progressivisme dan dinamisme dalam memahami agama.
Metode Dakwah Pesantren
Terdapat
beberapa hal yang mesti dianalisis kembali mengenai metode-metode
dakwah yang biasa dilihat dalam masyarakat, dari hal tersebut maka akan
dengan mudah apa dan bagaimana dakwah pesantren, terutama alur yang
representatif untuk memunculkan peran keagamaannya dalam konteks
masyarakat kekinian.
Pertama, dalam Hidayat al-Mursyidin
ila thuruq al wa’zi wa al irsyad (Kairo: Dar al I’tisam, tt). Syeikh Ali
Mahfuz yang diakui sebagai berotoritas dalam ilmu dakwah membedakan
dakwah itu sendiri dalam tiga ranah. Dakwah antar individu muslim,
dakwah antar golongan umat muslim, dan dakwah umat muslim kepada
non-muslim. Yang menarik adalah dalam perkembangannya justru dakwah
hanya berkutat pada ranah yang terakhir, yakni dalam pengertian
sederhana gerakan dakwah adalah gerakan meng-Islamkan umat non-muslim.
Di sinilah metode dakwah pesantren akan sedikit mengambil posisi yang
lebih bermanfaat. Pesantren tidak menganggap bahwa konversi iman
sebagai inti dari sebuah gerakan dakwah. Lebih dari itu dakwah
pesantren mengusulkan agar target dakwah dikonsentrasikan pemberdayaan
umat dalam ranah internal. Dakwah memiliki titik sasaran pemberdayaan
untuk kemandirian masyarakat muslim, membuka kesadaran untuk bangkit,
dan menawarkan jalinan silaturrahmi yang kuat antar komunitas dengan
kebersamaan menguatkan bangsa.
Kedua, dalam ranah
kebijakan publik dan politik, dakwah pesantren adalah dakwah yang
menawarkan gagasan ide tentang kesetaraan hak-hak warga negara –civil right-.
Sesuai dengan ciri khas gerakan pesantren yang tumbuh kembang bersama
rakyat lapis bawah secara langsung, maka gerakan dakwahnyapun harus
mengikuti dan menjawab kebutuhan masyarakat akar-rumput.Ketiga, dalam ranah sosial, gerakan
dakwah pesantren lebih memilih pendekatan dakwah kultural dibanding
militan. Pesantren lebih cenderung memberikan gagasan pengembangan Islam
sebagai sistem moral – al Islam huwa al nizham al akhlaqiyah -. Pesantren menolak segala bentuk kekerasan dan penindasan, terlebih dengan mengatas-namakan agama dan gerakan dakwah.
Keempat, dalam konteks komunikasi global, dakwah pesantren justru memberikan peluang dialog antara budaya dan keyakinan – intercultur faith understanding -.
Pesantren melalui kelembagaan yang lebih formalnya yakni Nahdlatul
Ulama (NU) menjadi sebuah tampilan sistem keagamaan yang ramah sekaligus
sangat bersikap universal. Berusaha hadir dengan melindungi siapa saja,
dan mengembalikan pengertian Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Gerakan dakwah pesantren seperti ini tentu memilliki konsentrasi dan
cita-cita mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa, dan ini dipandang
lebih penting dan sesuai dengan konteks keIndonesiaan, dibanding hanyut
dalam romantisme sejarah kejayaan Islam yang memiliki perbedaan yang
tajam dengan kondisi sekarang.Jika digali dan dikaji lebih lanjut, mungkin
masih banyak hal yang menarik dapat ditemukan dari tradisi dakwah
ala-pesantren yang benar-benar dibutuhkan oleh bangsa Indonesia sekarang
ini. Namun paling tidak, keempat narasi besar metode gerakan dakwah
pesantren tersebut cukup mewakili sebuah prinsip bahwa gerakan dakwah
pesantren lebih cenderung bersifat dialogis, sebuah gerakan dakwah yang
responsif terhadap fenomena dan kebutuhan zaman, memiliki pertimbangan
kuat terhadap budaya dan tradisi lokal, beriringan dengan
prinsip-prinsip perjuangan hak-hak dan nasib masyarakat, serta sebagai
corak keagamaan yang ramah dan peka terhadap keberagaman. []
* Di nuQil dari alumni Pondok Pesantren Majlis Tarbiyatul Mubtadi-ien
(MTM) Kempek Cirebon, dan Mahasiswa Pemikiran Islam di Institut Studi
Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.
اذا تاملت هذه الرسالة علمت انها خلصة عمر وزبدة دهر حوى من المباحث المهمات واعان عند نزول الملمات وانار مشكلات لمسائل المدلهمات " Ketika kamu merenungkan catatanku ini niscaya akan tau, catatan ini merupakan inti sari karya seumur dan rangkuman ilmu sepanjang masa berisikan bahasan - bahasan penting, memberikan solusi ketika muncul masalah yang mendera dan akan menerangi lorong -lorong masalah yang gelap."
Assalamu 'alaikum wr.wb
Assalamu alaikum Wr.Wb , Selamat Datang. Terima kasih telah Mengunjungi Blog ini, Semoga ada manfaatnya bagi diri pribadi dan pembaca, amien.
Selamat Menikmati dan Jangan Lupa Untuk meninggalkan jejak DI SINI Ya…
“Jika tindakan Anda memberi INSPIRASI bagi orang lain untuk bermimpi lebih, belajar lebih, melakukan lebih, dan MENJADI LEBIH, Anda adalah seorang LEADER”.
(John Quincy Adams)
Kepada pengunjung yang ingin “Meng-copas” atau Men-Share tulisan yang ada di blog ini dipersilahkan.Selamat Menikmati dan Jangan Lupa Untuk meninggalkan jejak DI SINI Ya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar